Selasa, 01 November 2016

Usaha SMA Ma’arif Yogyakarta Memerangi Vandalisme di Yogyakarta

Tembok Kosong Korban Vandalisme (Foto: Arum Catur Wahyuni)
Kabar Mahasiswa, Yogyakarta - Menuntut ilmu yang tinggi tidak membuat anak-anak dan remaja taat pada tata aturan. Pergaulan yang salah membuat mereka berbuat seenaknya. Aksi vandalisme sering digunakan mereka untuk menarik perhatian orang-orang disekitarnya.
Vandalisme sering diartikan sebagai perbuatan merusak dan menghancurkan hasil karya seni dan barang berharga lain. Yogyakarta dinobatkan sebagai kota nomor satu dalam kasus vandalisme menurut komunitas mural Indonesia berdasarkan tingkat keparahan dan titik daerah vandalisme.
Anak-anak kisaran SMP-SMA bahkan SD sering kedapatan dan tertangkap melakukan vandalisme oleh kepolisian. Alasanya pun berbeda-beda dari yang ikut-ikutan maupun bagian ritual dari geng yang diikuti. Aksi mereka sering dilakukan saat tengah malam.
Sekolah sebagai tempat mendidik anak dan remaja menjadi rujukan bila ada anak dan remaja yang melakukan aksi yang membahayakan. Tiap sekolah juga memiliki berbagai cara untuk ‘menghukum’ anak didiknya yang melakukan vandalisme.
Di SMA Ma’arif Yogyakarta, berdasarkan kesepakatan bersama anak-anak yang tertangkap akan diberi sanksi dengan membersihkan kembali atau mengecat ulang tempat yang mereka rusak.
“Siswa yang kedapatan atau dilaporkan melakukan aksi vandalisme kami beri sanksi membersihkan dan mengecat ulang lokasi yang di vandal, ini sebagai efek jera bagi mereka, “ tutur Ibu Fajarwati selaku kesiswaan. Awalnya anak-anak akan diberikan bimbingan konseling juga pemanggilan orang tua.
Sekolah juga mendukung pemberantasan aksi vandalisme karena kegiatan tersebut membuat berbagai tempat tidak indah lagi.
Pemerintah dan sekolah juga beberapa kali mengadakan penyuluhan tentang vandalisme serta pendidikan karakter dengan beberapa dinas terkait, ini sebagai upaya mencegah anak-anak melakukan vandal.
“Beberapa dinas juga memberikan kesempatan kepada anak-anak dengan lomba menggambar (mural) di tembok-tembok yang sudah ditentukan,” ujar ibu Fajarwati.
Ini dilakukan agar anak-anak dan remaja yang sebenarnya malah cerdas dalam menggambar bisa menyalurkan hobinya.
Dari hasil berbagai siswa yang ditanyai. Selain faktor-faktor diatas, berbagai faktor memang kerap menjadi latar belakang anak-anak melakukan vandalisme. Kasih sayang yang kurang dalam keluarga menjadi alasan yang kuat. Keinginan untuk bebas, kritik sampai kata-kata kotor dituangkan. Di usia belasan remaja pelajar umumnya masih mencari jati diri, mengikuti hal-hal baru yang belum tentu benar, kerap kali dilakukan.
Menurut ibu Fajarwati, kegiatan vandalisme sudah lekat terhadap kehidupan kita. Dari corat-coret meja dan kursi, melubanginya, menempeli dengan stiker, dan lain-lain sejak dini.
 “Mulai sekarang anak-anak semakin dewasa harusnya semakin tahu dan berubah menjadi putra-putri pembangun bangsa,” harap ibu Fajarwati.
            Pelajar menghabiskan hampir setengah waktunya dalam sehari disekolah. Sekolah harus menjadi tempat yang mengantarkan anak-anak menjadi pribadi yang baik. Pelaku vandalisme yang umumnya pelajar remaja harus diberikan bimbingan lebih karena usia mereka membuat pelajar remaja cenderung labill. Minimnya tempat menyalurkan ekspresi secara positif membuat mereka beralih ke hal-hal yang dinilai menarik.

Oleh: Arum Catur Wahyuni

Tidak ada komentar:

Posting Komentar