 |
Tembok Kosong Korban Vandalisme (Foto: Arum Catur Wahyuni) |
Kabar Mahasiswa, Yogyakarta - Menuntut ilmu yang tinggi tidak membuat anak-anak dan remaja taat
pada tata aturan. Pergaulan yang salah membuat mereka berbuat seenaknya. Aksi
vandalisme sering digunakan mereka untuk menarik perhatian orang-orang
disekitarnya.
Vandalisme
sering diartikan sebagai perbuatan merusak dan menghancurkan hasil karya seni
dan barang berharga lain. Yogyakarta dinobatkan sebagai kota nomor satu dalam
kasus vandalisme menurut komunitas mural Indonesia berdasarkan tingkat
keparahan dan titik daerah vandalisme.
Anak-anak
kisaran SMP-SMA bahkan SD sering kedapatan dan tertangkap melakukan vandalisme
oleh kepolisian. Alasanya pun berbeda-beda dari yang ikut-ikutan maupun bagian
ritual dari geng yang diikuti. Aksi mereka sering dilakukan saat tengah malam.
Sekolah sebagai
tempat mendidik anak dan remaja menjadi rujukan bila ada anak dan remaja yang
melakukan aksi yang membahayakan. Tiap sekolah juga memiliki berbagai cara untuk
‘menghukum’ anak didiknya yang melakukan vandalisme.
Di SMA Ma’arif
Yogyakarta, berdasarkan kesepakatan bersama anak-anak yang tertangkap akan
diberi sanksi dengan membersihkan kembali atau mengecat ulang tempat yang
mereka rusak.
“Siswa yang
kedapatan atau dilaporkan melakukan aksi vandalisme kami beri sanksi
membersihkan dan mengecat ulang lokasi yang di vandal, ini sebagai efek jera
bagi mereka, “ tutur Ibu Fajarwati selaku kesiswaan. Awalnya anak-anak akan
diberikan bimbingan konseling juga pemanggilan orang tua.
Sekolah juga
mendukung pemberantasan aksi vandalisme karena kegiatan tersebut membuat
berbagai tempat tidak indah lagi.
Pemerintah dan
sekolah juga beberapa kali mengadakan penyuluhan tentang vandalisme serta
pendidikan karakter dengan beberapa dinas terkait, ini sebagai upaya mencegah
anak-anak melakukan vandal.
“Beberapa dinas
juga memberikan kesempatan kepada anak-anak dengan lomba menggambar (mural) di
tembok-tembok yang sudah ditentukan,” ujar ibu Fajarwati.
Ini dilakukan
agar anak-anak dan remaja yang sebenarnya malah cerdas dalam menggambar bisa
menyalurkan hobinya.
Dari hasil
berbagai siswa yang ditanyai. Selain faktor-faktor diatas, berbagai faktor
memang kerap menjadi latar belakang anak-anak melakukan vandalisme. Kasih
sayang yang kurang dalam keluarga menjadi alasan yang kuat. Keinginan untuk
bebas, kritik sampai kata-kata kotor dituangkan. Di usia belasan remaja pelajar
umumnya masih mencari jati diri, mengikuti hal-hal baru yang belum tentu benar,
kerap kali dilakukan.
Menurut ibu Fajarwati,
kegiatan vandalisme sudah lekat terhadap kehidupan kita. Dari corat-coret meja
dan kursi, melubanginya, menempeli dengan stiker, dan lain-lain sejak dini.
“Mulai sekarang anak-anak semakin dewasa
harusnya semakin tahu dan berubah menjadi putra-putri pembangun bangsa,” harap
ibu Fajarwati.
Pelajar menghabiskan
hampir setengah waktunya dalam sehari disekolah. Sekolah harus menjadi tempat
yang mengantarkan anak-anak menjadi pribadi yang baik. Pelaku vandalisme yang
umumnya pelajar remaja harus diberikan bimbingan lebih karena usia mereka
membuat pelajar remaja cenderung labill. Minimnya tempat menyalurkan ekspresi secara
positif membuat mereka beralih ke hal-hal yang dinilai menarik.
Oleh: Arum Catur Wahyuni